MENGAPA ANAKKU SULIT BELAJAR ?

MENGAPA ANAKKU SULIT BELAJAR ?

(Tinjauan 12 Indra Rudolf Steiner)

 Ifa Hanifah Misbach, M.A, Psikolog


 Banyak orang tua berpikir anaknya kelak akan memiliki masa depan cerah jika memiliki kecerdasan intelektual tinggi, apalagi jika ditunjang dengan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual yang kuat. Namun, seringkali dalam perjalanan hidup anak, ternyata proses tumbuh kembang anak tidak seideal yang orangtua hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang terlupa bahwa sebelum anak bisa mencapai kematangan intelektual, emosi, dan spiritual, ada pondasi kecerdasan yang harus diolah dengan optimal terlebih dahulu, yaitu kecerdasan tubuh yang dikenal sebagai body intelligence. Kecerdasan tubuh pada diri manusia merupakan wadah yang telah melekat sejak lahir dan terbawa anak sampai dewasa.
Jika kecerdasan tubuh banyak terabaikan dalam masa tumbuh kembang anak, maka anak berpeluang mengalami kesulitan belajar di kemudian hari yang terbawa sampai usia dewasa. Contohnya, selama masa pandemic Covid-19, ketika proses belajar tatap muka di sekolah berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) di rumah, isu kesulitan belajar pada anak menjadi keluhan yang banyak dihadapi banyak orang tua, yang kebanyakan tidak memiliki latar belakang keilmuan pedagogi. Khususnya, untuk anak di tingkat SD, jenis-jenis kesulitan belajar yang banyak dikeluhkan orang tua adalah anak mengalami kesulitan menyimak materi pelajaran sampai tuntas, susah memahami konsep berhitung dalam bentuk cerita, susah menghafal, sulit memahami isi bacaan, dan yang paling sering dikeluhkan adalah anak sulit mendengar jika orang tua sedang menyampaikan sesuatu.
Jika ada kesulitan belajar di tingkat SD, maka orangtua perlu melihat dulu di tahapan sebelumnya saat anak masuk PAUD, apakah anak menjadi korban pemaksaan untuk mahir dalam keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebelum kematangan kognitif dan mentalnya siap ? Jika anak belum siap, orangtua perlu melihat dulu apakah ada masalah perkembangan yang tidak lengkap di tahapan dasar perkembangan sensorimotorik yaitu terkait dengan kemampuan sel saraf sensorik yang bertugas menghantarkan informasi ke otak, lalu sel saraf motorik untuk menghantarkan hasil terjemahan otak ke organ tubuh yang akan digerakkan. Rangsangan pada sel saraf sensorik ini harus melalui kepekaan kelompok organ indra yang merupakan bagian dari kecerdasan tubuh.
Apa Itu Kecerdasan Tubuh (Body Intelligence) ? Body Intelligence adalah kesadaran tubuh dalam menggunakan sensasi indrawi yang bertindak secara keseluruhan untuk memberikan respon terhadap stimulus yang terjadi di dalam lingkungan internal tubuh maupun stimulus yang berasal dari lingkungan luar (Anderson, 2006; Gavin, 2010).
Perhatian terhadap kesadaran adanya kecerdasan tubuh telah menjadi perhatian beberapa dekade dari para tokoh psikologi yaitu Freud dan Jung; Maurice Merleau-Ponty dalam filsafat fenomenologi; Maria Montessori dan Rudolf Steiner di bidang pendidikan (Anderson, 2006). Kecerdasan tubuh ini yang kemudian oleh Gardner (1983, 1993, 1999) dinamakan kecerdasan “kinestetik” sebagai salah satu jenis dari kecerdasan majemuk. Kecerdasan tubuh oleh Gardner digambarkan sebagai kapasitas untuk belajar melalui pengalaman dan memecahkan masalah dengan mengolah kesadaran tubuh sebagai sumber wawasan.
Fungsi dari organ-organ tubuh, gerakan, dan persepsi manusia adalah dinamika fisiologis yang kompleks dari gerakan kecil, otot, cairan, jaringan, dan proses biokimia di seluruh tubuh kita. Sebagian besar dinamika yang terjadi di dalam tubuh kita terjadi tanpa kesadaran mental. Namun demikian, antara tubuh, pikiran, dan emosi adalah orkestra yang tidak dapat dipisahkan satu detik pun karena setiap detik pikiran dan perasaan berkomunikasi melalui sel-sel tubuh yang dimanifestasikan dalam gerakan. Lebih jauh kesadaran terhadap sensasi tubuh yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran dalam aktivitas kreatif, wellbeing juga spiritual (Shields, Mallory, and Simon, 1989).
Para seniman, atlit, penyair, dan ilmuwan hebat seringkali menghadirkan kesadaran terhadap berlangsungnya proses tubuh untuk kegiatan kreatif. Para praktisi meditasi di seluruh dunia dikenal terampil membawa kesadaran terhadap berlangsungnya proses tubuh untuk membuka gerbang kesadaran spiritual.
Tahap awal untuk membawa kesadaran adalah mengenali sensasi tubuh yang cara kerjanya berlangsung di organ kelompok indra. Sejak 350 SM, Aristoteles sudah memiliki perhatian bahwa sensasi merupakan pintu untuk mengalami pengalaman empirik di dunia luar (Beare, 2019). Ketika orang sudah mampu menggunakan sensasi tubuh, maka orang tersebut akan dengan sendirinya bisa mengenali indra mana saja yang bekerja di tubuh, yang juga terhubung dengan pikiran dan emosi yang sedang berlangsung di dalam dirinya. Sesederhana ketika anak kecil jatuh dan merasakan sensasi rasa nyeri di permukaan kulitnya. Kemudian anak tersebut mengekspresikan rasa nyerinya melalui reaksi fisiologis di tubuhnya yang mendorong organ mata mengeluarkan air mata. Organ mulutnya berteriak karena menahan sakit dan emosi yang dirasakan anak adalah terkejut karena jatuh.
Cara untuk mengenal semua sensasi yang berlangsung di dalam maupun di luar tubuh adalah melalui pengindraan yaitu proses masuknya stimulus ke dalam alat indra manusia (Plotnik, 2005). Selama ini kita hanya mengenal panca indra yang terdiri dari lima, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan. Namun demikian, 5 indra ini seperti tidak memiliki kesatuan secara keseluruhan. Dengan kata lain, 5 indra yang selama ini kita kenal hanyalah sebagian dari organisasi indra manusia. Untuk sampai pada penjelasan komprehensif tentang organisasi indra manusia, kita perlu mengenal 12 indra.
Penjelasan mengenai 12 indra ini pertama kali disampaikan oleh salah seorang filsuf pendidikan dan ahli antrosofi (filsafat tentang cara berpikir, tubuh, kesadaran, dan jiwa manusia) yaitu Robert Steiner sejak 100 tahun yang lalu, yang juga telah mengembangkan konsep pendidikan holistik di ribuan sekolah Waldrof yang tersebar di banyak negara di seluruh dunia (Soeseman, 1999; Blanning, 2019). Konsep pendidikan holistik yang dimaksud Steiner adalah mendidik anak untuk mengenali dunia selalu dimulai dari tahapan willing (kemauan), feeling (perasaan), dan thinking (pikiran). Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan holistik dari Ki Hadjar Dewantara yang dinamakan “Konsep Trisakti Jiwa”, yaitu keseimbangan antara karsa (kemauan), rasa (perasaan), cipta (pikiran). Dalam terminologi psikologi, konsep yang digagas Steiner maupun Ki Hajar Dewantara itu sejalan dengan domain kognitif, emosi, dan psikomotorik dalam mengelola rangsangan dari lingkungan (Bloom, 1956; Hurlock, 1999; Papilia dan Old, 2001).

1 181
Enable Dark Mode